Jika kita bicara Islam
di bumi nusantara ini tentu akan selalu di kaitkan antara golongan Muhammadiyah
atau NU. Seolah-olah hanya ada dua ormas itu dinegeri ini, sehingga pertanyaan
yang sering kali muncul “kumu orang Muhammadiyah atau NU?” Muhammadiyah
yang menyebut sebagai organisasi terbesar di Indonesia patut bangga karena
kader-kader terbaiknya mampu mengisi semua lini kehidupan bermasyarakat. Bahkan
jauh sebelum itu Muhammadiyah juga turut andil besar dalam perjuangan
mendeklarasikan kemerdekaan Negeri ini. Amal usaha Muhammadiyah hingga saat ini
bisa di bilang paling besar dalam memberi kontribusi untuk kemajuan bangsa di
banding dengan organisasi lainnya. Setidaknya itulah yang bisa di rasakan oleh
masyarakat dengan berdirinya Sekolah Muhammadiyah di seluruh provinsi yang ada
di Indonesia. Pada tahun 2009 jumlah sekolah sejak tingkat Dasar sampai
Menengah Atas, berjumlah 7.307. Jumlah itu masih ditambah lagi Perguruan Tinggi
Muhammadiyah (PTM) sebanyak 168. Jumlah Rumah Sakit/ Balai Pengobatan sebanyak
389 buah.Jumlah BPR/BT sebanyak 1.673. Jumlah Masjid sebanyak 6.118, sedang
jumlah Musholla sebanyak 5.080 buah. Adakah capaian dari organisasi lain yang
bisa menyamai rekor Muhammadiyah itu? NU juga tak kalah besar, seperti halnya
Muhammadiyah organisasi NU juga berdiri di seluruh pelosok negeri ini.
“bersaing” dengan muhammadiyah, NU juga memiliki cabang kepengurusan di belahan
benua lainnya di Dunia ini. Pantaslah jika NU memplokamirkan diri sebagai
organisasi terbesar di Dunia. Pada tahun 2009 tercatat ada 14.067 Pondok
pesantren NU yang tersebar di seluruh Indonesia. Inilah kelebihan NU yang
begitu luar biasa dan tidak dimiliki oleh organisasi lainnya.
Saya bangga lahir di
kalangan Muhammadiyah, setidaknya kunjungan Pengurus Cabang Muhammadiyah setiap
bulan Ramadhan di masjid kami cukuplah untuk menyimpulkan bahwa kami adalah
warga persyarikatan Muhammadiyah. Meskipun pada saat yang sama para pengurus
masjid kami masih rutin menyelenggarakan Yasinan –NU- setiap kali ada momentum
tertentu. Menginjak remaja jiwa Muhammadiyah benar-benar masuk dalam jiwaku,
karena ketika di Sekolah Muhammadiyah aku belajar Kemuhammadiyahan. Saat itu
aku merasa telah masuk pada golongan surga sementara yang lain adalah golongan
bid’ah, sesat, dan ujungnya adalah neraka. Dalilnya
jelas:
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah
sesat.” (HR. Muslim no. 867)
“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An
Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani di Shohih wa
Dho’if Sunan An Nasa’i)
Ajaran Muhammadiyah ingin memurnikan kembali
Islam dengan menghapus Taklid, Bid’ah dan Churofat (TBC). Penyakit TBC itu
telah menjangkit akut di seluruh lapisan masyarakat oleh karena itu butuh kerja
keras untuk bisa menghapusnya. Jika seperti yang dikatakan Muhammadiyah bahwa
Yasinan, Tahlilan, Selametan dan berbagai ritual lainnya adalah sesat, akan
bertolak belakang tentunya dengan pemahaman NU.
Dalil orang-orang NU
membaca surat Yasin ini adalah, pertama dalam hadits riwayat Nasa'i bersumber
dari Ma'qal bin Yasar al-Muzan mengatakan, Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Bacalah surat Yasin di
samping saudaramu yang sedang sekarat.” Hadits ini juga berlaku bagi yang
masih hidup untuk membacakan Yasin untuk yang sudah meninggal. Persis seperti
sabda Rasulullah: Laqqinu mautakum La ilaha illallah (Tuntunlah
orang mati dengan kalimat La ilaha illallah). Dan termasuk dalam
hadits ini adalah bacaan Yasin di atas makam. (Demikian penjelasan dalam kitab Kasyifatus
Syubhat, hlm. 263)
Oke. Saya gak perlu beradu dalil disini, karena
antara keduanya mempunyai dalil yang diyakini masing-masing dari mereka paling
kuat. Lagi pula aku tak ada kapasitas disini untuk membahasnya. Jalani apa yang
anda yakini maka itulah yang terbaik untuk anda. Saya hanya ingin melihat diri
sisi sosial kemasyarakatannya. Bahwa dikalangan warga Muhammadiyah dan NU masih
banyak yang begitu fanatik dan memandang remeh golongan yang lainnya.
Setidaknya itulah yang pernah saya alami ketika melihat orang di luar
Muhammadiyah seperti calon-colon penghuni neraka karena kesesatannya. Lambat
laun pemahaman itu makin berkurang dan pudar seiring dengan pergumulanku
bersama orang-orang NU saat menimba ilmu di padepokan Sunan Kali Jaga
Jogjakarta. Jika di kampus lain kita akan menjumpai PMII (organisasinya
mahasiswa NU) minoritas maka di UIN suka (sunan kalijaga) PMII menjadi mayoritas
yang menguasai Senat Mahasiswa.
Persepsi saya tentang golongan lain menjadi
semakin lunak ketika mulai beranjak dari jogja. Begitu memasuki bumi Andalas
ternyata tak banyak jejak Muhammadiyah disana, demikian pula kondisi tatkala
tinggal di Kepulauan Riau. Sekolah, kampus, klinik dan Rumah Sakitr di sana
mungkin cukup untuk menggambarkan keberadaan Muhammadiyah yang merata, namun
semua itu tidak mewakili jumlah warga Muhammadiyah yang berada di tempat yang
sama.
Jika khunut cukup dijadikan dasar untuk menyebut
bahwa itu adalah amalan NU, maka di Pekanbaru, Batam, Tanjung Pinang, dan
Bandung yang pernah saya tinggal disana belum pernah saya mengikuti shalat
subuh tanpa khunut. Jadi sangat sulit bagi saya untuk menemukan jejak
Muhammadiyah hingga di gang-gang kecil atau perumahan tempat masyarakat
sesungguhnya berada. Jika penetapan Hari raya juga cukup untuk membedakan mana
itu Muhammadiyah dan mana NU, maka di tempat yang sama saya sebut tadi
mayoritas tidak mengikuti Muhammadiyah. Lalu apakah mereka semua adalah warga
NU? Kalau mengambil tolok ukur yang lainnya lagi tidak secepat itu pula kita
mengatakan mereka orang NU. Karena banyak juga diantara mereka yang tidak lagi
mengamalkan yasinan, jika itu syarat untuk menjadi warga NU. Artinya sebagian
masyarakat tidak lagi terlalu peduli mereka sebagai orang NU atau Muhammadiyah.
“saya orang islam” kata mereka singkat untuk tidak mau di katakan sebagai orang
Muhammadiyah atau NU ataupun juga golongan lain. Artinya ada kesadaran yang
tinggi di kalangan masyarakat untuk menjunjung tinggi kebersamaan tanpa
terkotak-kotak oleh perbedaan golongan. Okelah organisasi seperti NU dan
Muhammadiyah sangat di butuhkan untuk memajukan masyarakat, namun jauh lebih
penting lagi jangan sampai perbedaan organisai justru memecah belah umat.
Masyarakat selalu mendukung kedua organisasi itu, nyatanya setiap kali ada
pengajian mereka juga berbondong bondong hadir tanpa harus melihat itu di
selenggarkan Muhammadiyah atau NU. Apalagi keberadaan Muhammadiyah dan NU
memang sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Saya jadi ingat kisah salah seorang teman yang
begitu tidak suka dengan Muhammadiyah, dia lebih memilih memasukkan anaknya ke
sekolah yayasan umum yang letaknya jauh dari tempat tinggalnya dari pada masuk
sekolah Muhammadiyah yang berdekatan rumah. “Emang nanti kalo sakit tak mau
pula masuk PKU Muhammadiyah?” gumamku dalam hati. Ada juga orang muhammadiyah
yang memilih shalat jamaah jauh di luar tempat tinggalnya, karena di masjid
perumahannya kebanyakan orang NU. “emang nanti kalo dah mati sapa yang nyolatin
kalo bukan tetangganya yang NU?” jangan sampai segitunya lah kawan. Kita semua
itu saudara, sama-sama muslim. Alangkah indahnya negeri ini jika di bangun
dalam kebersamaan. Pada kenyataannya banyak warga Muhammadiyah yang mengikuti
amalan NU seperti yasinan, tahlilan dan lain sebagainya. Dan begitu pula
sebaliknya, banyak pengikut NU yang menyekolahkan anaknya ke sekolah
Muhammadiyah. Dan semua itu juga berjalan dengan baik, jadi apa yang harus di
persoalkan.
Kadang banyak orang yang sibuk memperdebatkan
khilafiyah, sebuah berbedaan yang sangat berpotensi multi tafsir. Tapi mereka
seolah menutup mata dengan persoalan nyata yang ada. Ambil contoh misalnya,
mereka sibuk memperdebatkan doa setelah shalat. Satu pihak mengatakan gak boleh
sambil angkat tangan, do’a cukup dengan lisan bahkan dalam hati pun tetep akan
sampai. Pihak yang lain mengatakan mengangkat tangan itu perlu jaman nabi juga
begitu. Tapi di luar sana anak-anak mereka yang beranjak dewasa dengan bebasnya
saling berpegangan tangan dengan lawan jenis, pada hal itulah yang jelas-jelas
haram. Mereka sibuk memperdebatkan berapa nishob sihingga seseorang di katakan
wajib zakat, sementara di luar sana orang-orang yang kurang mampu sudah tak
sabar menunggu uluran tangan kita. Mana yang baik ayolah kita amalkan, tak usah
pedulikan itu di tuntunkan Muhammadiyah atau berdasar fatwa NU.
Saya jadi ingat ketika dahulu kala KH. Abdurrahman Wahid naik tahta berkat jasa
Prof. Dr. Amin Rais, sering kali di adakan seminar dan pertemuan antara
Muhammadiyah dan NU. Temanya tentu saja membangun kebersamaan dan mencari titik
temu kesamaan bukan menonjolkan perbedaan. Sejarahpun di kupas, mulai dari
perbedaan yang muncul dari kalangan shahabat, Tabi’in, tabi’ut tabi’in hingga
para ulama besar yang dengan kebesaran hati mereka mampu menyikapi perbedaan.
Kesimpulannya tentu saja ada persamaan yang bisa lebih di tonjolkan dari pada
harus direpotkan dengan perbedaan yang ada.
Kini saya membayangkan alangkah indanya jika
berbagai seminar itu kembali di adakan bahkan bisa menghadirkan dari berbagai
golongan yang lainnya. Bolehlah kita terkotak dalam berbagai organisasi, tapi
bukan berarti kita harus saling membenci dan saling menjatuhkan satu sama lain.
Boleh juga kita bangga dengan apa yang kita yakini dalam organisasi atau
golongan yang kita ikuti, tapi jangan sekali-kali mengatakan bahwa kelompok
yang lain adalah sesat dan tempatnya neraka. Emang neraka milik lo? Jika
Muhammadiyah adalah organisasi terbesar di Indonesia sementara NU memplokamirkan
diri sebagai organisasi terbesar di Dunia, berarti MuhammadiNU adalah
organisasi terbesar di dunia dan Akhirat, Amiin. Wallahu a’lam bishowab.
AB Subranto