Hari itu ahad 2 november 2008, sekitar pukul 03.15 pagi anakku di panggil oleh sang Khalik. Mungkin ini pengalaman paling menyedihkan yang pernah aku alami sampai saat ini. Bagaimana tidak! disaat-saat terakhirnya, aku menunggui tanpa bisa berbuat apa-apa. Selalu terbayang begitu jelas, ketika anakku terkulai lemas tanpa daya untuk menggerakkan tubuh bahkan untuk bernafas sekalipun. Ventilator yang sejak 6hari sebelumnya membantu fungsi jantungnya tak lagi bisa direspon oleh jantungnya yang mengalami kalainan sejak lahir. Bahkah disaat terakhir itu dokter bilang paru-parunya tak lagi bisa menerima pasokan udara dari jantung meskipun di bantu dengan alat pompa karena ventilator tak lagi punya arti. Saat-saat paling menyedihkan, melihat matanya yang sayu tanpa dosa seperti meminta pertolongan ketika tangan dokter yang begitu kuat menekan dadanya yang rapuh. Ditekan berulang kali seperti memberi pertolongan orang yang habis tenggelam, namun tetap saja nafasnya tak bisa tertolong, Anakku menghembuskan nafas terakhir dengan begitu tenang. tanpa ada raut muka sedih dan sakit. Ia seperti terlelap nyenyak setelah seharian capai bermain, perlahan aku tutup matanya yang sedikit terbuka.
Dingin dan lembut ketika aku cium keningnya yang sudah tidak lagi bernyawa. "Ya Allah, Ampunilah saya yang tidak mampu menjaga amanah anak yang Engkau Anugerahkan kepada kami, Tempatkanlah ia disisimu dan di tempat yang mulia", aku hanya bisa menangis ketika memegangi tangannya, mencium dan memeluk tubuhnya yang mungil. Tubuhnya dingin dan sejuk, bibirnya sedikit tersenyum, seolah ingin menghiburku agar tidak bersedih. "Sayangku, maafkan abi yang tidak bisa menjagamu".
Aku hanya bisa menyesali perbuatan, ketika menyadari telah terlambat melakukan pengobatan pada sakitnya yang sebenarnya merupakan bawaan dari lahir. Seminggu sebelum anakku berpulang ke Rahmatullah, tepatnya dihari senin pagi pukul 05.30 ia terbangun dan aku gendong keluar kamar. Menangisnya begitu keras, dikasih minum asi ia tak mau. begitu diam dari tangis, nafasnya sesak dan tersengal-sengal padahal malam dan hari sebelumnya juga tak ada masalah. Beberapa saat kami mencoba untuk menidurkan dan menenangkan, namun sepertinya ini bukan sesak biasa. Langsung saja pagi itu kami bawa ke Bidan terdekat, bidan bilang kami sudah terlambat karena nafasnya sudah parah. Dengan bantuan oksigin dari bidan wafa anakku diantar ke klinik 'Cassa Medika' yang jaraknya 10 menit perjalanan. Klinik yang dimaksudpun tak mampu berbuat banyak karena tak ada peralatan yang memadai. Rujukan berikutnya RSBK, tapi masalah kembali muncul karena dokter anak baru akan datang sore hari. Kamipun tak mau menunggu lama, setelah melewati berbagai proses konfirmasi dokter, ruang perawatan dan perjalanan yang cukup jauh akhirnya pada pukul 11.00 siang anak saya masuk di Rumah Sakit Otorita Batam. Selama itu pula nafas anakku sesak dan tersengal-sengal, mata dan mulut terbuka, tapi sebenarnya dalam kondisi tidak sadar.
Kami hanya terdiam tak bisa beralasan apapun ketika tim dokter menyalahkan kami yang terlambat membawa ke Rumah Sakit. Keterlambatan yang sesungguhnya bukan keterlambatan pada hari itu, tapi keterlambatan berobat setelah anakku berusia 5 bulan padahal sakitnya merupakan bawaan dari lahir.
Dulu saat usianya 1 bulan atas saran bidan kami pernah membawanya ke dokter, setelah tes darah dilakukan dokter merekomendasikan untuk rawat inap di Rumah Sakit. Waktu itu kami tidak percaya kalau anakku mempunyai lemah jantung karena kondisi tubuhnya juga sehat dan gemuk. Apalagi diusianya yang baru 1 bulan kok suruh rawat inap di rumah sakit. Banyak orang kami mintai pendapat, dan banyak pula jawaban yang kami dapat. Pada akhirnya kami memilih untuk tidak membawanya ke Rumah sakit dan memberi terapi dengan obat herba yang diminumkan ke uminya. Saya lebih sepakat bahwa Asi merupakan obat yang paling mujarap. Disitulah awal kelalaian saya yang menafikan tindakan medis rumah sakit.
Waktu terus berlalu, anak kesayangan kami tumbuh semakin besar. Kami menikmati masa-masa paling membahagiakan ketika selalu menemani, menunggui, menjaga, merawat dan mengajarinya setiap hari. Dia semakin pintar untuk berbicara meskipun tak bisa dimengerti bahasanya, semakin lucu ketika tertawa, dan semakin menggemaskan ketika sudah mulai belajar tengkurap.
Bagiku tak ada yang mengkhawatirkan dari perkembangannya, namun istriku sering mengkhawatirkan adanya warna biru di ujung-ujung jari tangannya, tepatnya di lipatan jari paling ujung bagian belakang. Warna birunya merupakan bawaan sejak lahir, ketika suatu hari kami berkonsultasi kepada orang yang kami anggap ahli dalam kesehatan, dia balik bertanya ”coba lihat jari tangan ibunya, iyakan sama, nggak usah khawatir. Yang penting ibunya rajin mengkonsumsi spirulina dan omega, Insya Allah bayi sehat”. Akhirnya aku hanya belikan spirulina dan omega yang merupakan produk HPA untuk diminum istri sebagai suplemen kesehatan anak.
Kekhawatiran istriku kini terbukti setelah 5 bulan usia wafa. Hanya penyesalan yang ada, kenapa waktu itu aku begitu pelit untuk merawat inapkan anak wafa di rumah sakit. Kini semua sudah terjadi, meskipun berbagai upaya dilakukan tetap saja tak akan bisa mengembalikan keadaan. Sakitnya sudah terlalu akut. Dokter bilang ada bagian yang terbuka di jantung wafa, padahal seharusnya tertutup. Akibatnya, darah yang mengandung O2 bercampur dengan darah yang mengandung CO2. Warna biru diujung jarinya, merupakan efek dari percampuran antara kedua jenis darah tersebut. Kondisi seperti itu merupakan bawaan dari lahir, bisa jadi dikarenakan proses persalinan yang tidak normal, tidak cukup umur dalam kandungan, proses pembentukan janin, atau proses pertumbuhan ketika didalam rahim yang sangat dipengaruhi oleh unsur makanan yang dikonsumsi ibunya.
Diruang UGD itu kondisi anakku sangat mencemaskan, nafasnya turun naik begitu keras dan cepat. Hingga beberapa saat kemudian masuk ruang ICU dan aku tak bisa lagi melihat penderitaannya. Aku hanya bisa menangis di depan pintu ruang ICU. Hari-hari serasa begitu panjang menunggu kesembuhan anak pertamaku. Pada hari ketiga dan ke empat, kondisinya sudah semakin membaik. Tangannya sudah mulai aktif menggapai selang ventilator dan selang pembuangan ludah. Karena geraknya yang mulai mengkhawatirkan jika sampai mencabut selang pembantu nafasnya, akhirnya kedua tangannya di ikat. Mimik wajahnya nampak menangis seperti ingin melepas ikatan tangannya tapi tak ada keluar suara karena pita suaranya ditutup. Kadang ia tersenyum dan kadang juga nampak tertawa, kamipun semakin senang melihat perkembangannya yang semakin membaik. Dokter sempat bilang, ”semoga minggu ini bisa dibawa pulang, tapi harus dirujuk ke Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta untuk operasi jantung, karena itulah satu-satunya solusi untuk menyembuhkannya”.
Waktu dibilang oleh dokter untuk operasi ke Jakarta aku belum begitu terbayang, yang terpenting bagiku adalah bagaimana wafa bisa segera sehat dan pulang. Bagaimana aku akan mampu mambayangkan biaya operasi di jakarta, sementara untuk biaya rawat inap di RSOB aja aku sangat kebingungan. Ketika mau minta bantuan orang tua di kampung, paling hanya sapi yang bisa dijual itupun tak sampai 5 juta. Sementara biaya rawat inap perhari bisa sampai 3jt, dan belum ada kepastian sampai kapan bisa dibawa pulang.
Dalam kondisi bingung itu aku konsultasi dengan murabbi, dan beliau memberi motivasi untuk tetap tabah dan yakin bahwa soal biaya itu kecil, yang penting anak bisa segera sehat. Sehabis itu, tiba-tiba banyak ucapan rasa simpati yang masuk dan bantuan dana pun berdatangan. Untuk kesekian kalinya, aku merasakan indahnya hidup berjamaah. Namun ada rasa tidak enak telah merepotkan ikhwah yang lain, di liqo muncul usulan untuk mencari bantuan kepada ikhwah di singapura dan thailand, tentu saja usulan itu saya sambut dengan baik.
Sore itu juga aku minta ijin kepada pihak rumah sakit untuk mengambil gambar wafa yang sedang terbaring sakit guna pengurusan dalam mencari bantuan. Tapi suster bilang agar esuk harinya saja ijinnya ke bagian humas. Akupun menunggu hingga esuk hari. Beban fikiranku semakin ringan dengan adanya bantuan dari ikhwah dan para relasi. Namun tidak demikian adanya dengan kondisi wafa. Lepas dari perhatianku karena sibuk ngurus biaya perawatan, ternyata kondisi wafa malah menurun dalam dua hari terakhir.
Awal kecemasanku ketika hari sabtu jam 23.00 suster memanggilku dan minta persetujuan untuk infus di kepala wafa. Mendengar permintaan itu aku kaget dan mulai ada perasaan cemas.
”kenapa harus kepala Bu”,
”Tangannya sudah bengkak semua pak, kakinyapun juga. Satu-satunya yang tersisa untuk bisa di infus hanya kepala”.
Dengan perasaan penuh kebimbangan dan pasrah, akhirnya aku tanda tangani persetujuan infus dikepala dengan segala resiko yang ada.
Jam 02.30 dini hari, perawat kembali memanggil. Saat itu dokter langsung yang memberi penjelasan. ”Pak, kondisi anak bapak sekarang semakin parah. Paru-parunya tak lagi mampu menerima respon dari jantung sehingga harus dipompa. Boleh saya bilang sudah 90%, jadi bapak berdo’a saja. Bacakan syahadat didekatnya.”
Tubuhku jadi lemas mendengar penjelasan itu,
”bukankah kemarin kondisinya sudah semakin membaik dok?”
”jam 2 tadipun juga masih baik pak, tapi yang namanya sakit jantung itu tak bisa di prediksi”
Akhirnya aku hanya bisa pasrah melepas kepergian anak tercintaku. Kini yang tirsisa tinggal penyesalan, permohonan terampuninya dosa karena tidak mampu menjaga anak yang telah diamanahkan, dan harapan mendapat syafaat kelak dihari pembalasan.
Selamat jalan wafa sayang,
tunggu abi dan ummi di pintu syurga-Nya.
Batam, 16 November 2008